top of page
PicsArt_09-24-08.55.58.png

AKSATRIYA
KAHURIPAN

  • Instagram
  • pngegg

Berpendidikan Tinggi, Ujung-Ujungnya Jadi Ibu Rumah Tangga ?

Tasha Tsania Thalib

 

https://tigorboraspati.wordpress.com/2011/02/09/step-by-step-womans-life-illustration/

 

Sejak dahulu, masyarakat di sekitar kita sering kali mengaitkan pendidikan dengan status seorang perempuan setelah menikah. Dalam kehidupan sehari-hari acapkali masyarakat melontarkan pernyataan “perempuan nggak usah sekolah tinggi, toh nanti ujung-ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga”. Lalu beberapa perempuan modern menjawab seperti ini, “justru perempuan harus sekolah tinggi, sekalipun tidak terjun dalam dunia karir, setidaknya bisa menjadi ibu yang baik serta cerdas bagi anak-anaknya kelak”. Jika melihat dari sudut pandang masyarakat sekitar, mereka menilai bahwasannya ilmu-ilmu di bangku sekolah maupun di bangku kuliah tidak ada gunanya untuk perempuan, toh nantinya juga jadi ibu rumah tangga.


Ilmu yang digunakan seorang ibu merupakan ilmu lifeskill dan tidak banyak diajarkan di bangku sekolah. Namun disisi lain, kaum perempuan melakukan pembelaan terhadap diri mereka dengan berargumen bahwasanya seorang ibu harus cerdas untuk mendidik anak-anaknya kelak. Kedua argumen tersebut tidak ada yang salah. Masyarakat sekitar bisa mengatakan hal seperti itupun juga tidak sembarangan, sebab mereka sudah melihat dalam realitas tidak ada bedanya antara ibu yang lulusan SMA maupun ibu yang lulusan S2. Ibu tetaplah ibu. Tidak seharusnya status ibu dikait-kaitkan dengan status pendidikan. Namun, secara tidak sadar, perempuan yang melakukan pembelaan tadi juga tetap mengaitkan antara pendidikan tinggi dan status ibu.


Pada realitanya, banyak perempuan berpendidikan yang menggugurkan bayi ataupun membunuh bayinya. Selain itu, banyak juga perempuan lulusan sekolah tinggi yang menelantarkan anaknya, maupun mendidik anaknya dengan ekstrem. Namun, disisi lain ada juga ibu yang hanya lulusan SD, SMP ataupun SMA bisa mendidik anaknya dengan baik dan penuh kasih sayang. Pada dasarnya, sekolah tinggi-tinggi itu urusan wanita dengan dirinya sendiri, bukan urusan dirinya dengan anaknya. Jadi ketika seorang wanita bisa memberikan ilmu yang dimiliki kepada anaknya, maka hal tersebut bukan dipandang sebagai gunanya sekolah tinggi, namun lebih ke gunanya seorang ibu. Ibu lulusan sekolah tinggi dan rendah sama saja, selagi mereka bisa memberikan kasih sayang, perhatian dan mendidik anak-anaknya dengan baik dan benar. Terkadang karena adanya isu-isu yang beredar di masyarakat membuat seorang perempuan malu membawa dirinya di hadapan masyarakat. Misalkan, ada seorang perempuan, ia lulusan S2, tapi ia harus berada di rumah karena harus merawat anaknya, sebab ia tidak mau menitipkan anaknya pada pengasuh maupun menitipkan di tempat penitipan anak. Namun, disisi lain ia juga malu ketika menghadapi masyarakat dengan gelar sarjana yang diperolehnya. Dirinya merasa seolah-olah tidak berguna sebab sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengenyam pendidikan, sementara lumrahnya perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Seharusnya, ia membuka mindset baru bahwasanya tidak ada kaitannya antara gelar sarjana dengan gelar sebagai ibu.


Entah seorang ibu tersebut menyandang gelar sarjana ataupun tidak, yang terpenting seorang perempuan tidak melakukan pernikahan dini ataupun menikah pada usia yang belum matang dan belum sepenuhnya siap untuk membangun rumah tangga. Sebab menurut survei, perempuan memang lebih cenderung menikah dini dibandingkan laki-laki di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat 3,22% perempuan menikah di bawah usia 15 tahun pada 2020. Sedangkan hanya 0,34% laki-laki yang menikah di usia tersebut. Lalu, 27,35% perempuan menikah di usia 16-18 tahun. Badan Pusat Statistik juga mencatat pada 2020, persentase perceraian naik menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan. Maka dari itu, yang terpenting adalah ke hati-hatian dan kesadaran dari perempuan itu sendiri agar tidak terjerumus pada pernikahan dini dan perceraian, yang akhirnya perempuan juga dirugikan. Sebenarnya seorang perempuan berhak berkarier di luar rumah dan yang terpenting tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang ibu maupun seorang istri. Peran ibu dan peran wanita karier sulit untuk dilakukan secara bersamaan. Nantinya pasti ada salah satu diantara kedua peran tersebut yang lebih berat. Tapi tidak menutup kemungkinan pula, banyak perempuan yang sanggup merangkap dua peran tersebut. Sekalipun banyak yang mengatakan bahwa perempuan itu lemah namun pada realitanya, perempuan tidak selemah yang dipikirkan oleh orang-orang, dengan pembuktian seperti diatas yakni perempuan bisa merangkap peran sebagai wanita karier dan sebagai ibu.


Namun ada juga beberapa perempuan yang lebih memilih untuk fokus merawat anak serta mengurus rumah, sedangkan sang suami yang mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan cara memberikan banyak waktu kepada anak-anaknya. Seorang ibu dapat mengikuti perkembangan anaknya setiap waktu. Itu tandanya gelar sarjana masih belum di pakai. Namun, pentingnya berkarier ataupun tidak, itu kembali kepada pilihan dari masing-masing perempuan. Sebab pendapat setiap individu pastinya berbeda-beda dan menyesuaikan kemampuannya masing-masing. Pada dasarnya, baik seorang wanita karier maupun seorang ibu rumah tangga sama-sama melelahkan. Apalagi jika seorang wanita karier ataupun ibu rumah tangga tersebut sama-sama memiliki anak. Sebenarnya, sebagian besar perempuan di era sekarang memiliki keinginan menjadi wanita karier serta ibu yang baik. Sebab perempuan tentunya menginginkan menjadi ibu rumah tangga yang baik serta masalah finansialnya teratasi. Sebab di era saat ini banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan dari rumah sehingga seorang ibu juga tetap dapat memantau perkembangan anaknya.




 

Tasha Tsania Thalib

Bendahara 1 Rayon Aksatriya Kahuripan 2021/2022



64 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


“Aku akan terus menulis dan akan terus menulis, sampai aku tak mampu lagi menulis”
(H.Mahbub Djunaidi)

© 2021 by LSO Informasi,komunikasi, dan pers PMII AKSATRIYA KAHURIPAN

bottom of page