top of page
PicsArt_09-24-08.55.58.png

AKSATRIYA
KAHURIPAN

  • Instagram
  • pngegg

Budaya Menggunakan Masker Yang Terbentuk Pada Masa Pandemi Covid – 19

Writer's picture: aksatriyakahuripanaksatriyakahuripan

Updated: Oct 27, 2021


 

Dokumentasi Pribadi

 

Di Indonesia merebaknya penyebaran wabah Covid-19 yang merata di seluruh wilayah nusantara, bahkan hingga saat ini pandemi di Pulau Jawa saja telah memiliki level di setiap regional wilayahnya yang sedang berlangsung di seluruh dunia. Walaupun saat ini sudah mulai berbenah dari badai pandemi tersebut. Awal mula penyakit ini disebabkan oleh coronavirus sindrom pernapasan akut berat (SARS-CoV-2). Kasus positif covid pertama kali terdeteksi pada tanggal 2 maret 2020, ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari seorang Warga Negara Jepang dan pada tanggal 9 April 2020, pandemi telah menyebar ke beberapa provinsi di Indonesia seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan lain-lain sebagai provinsi paling terpapar di Indonesia.


Hingga tanggal 3 oktober 2021, Indonesia telah melaporkan 4.219.284 kasus positif menempati peringkat terbanyak kasus positif covid di Asia Tenggara, dan dalam hal kematian menempati peringkat ke 3 di Asia sekitar 142,173 jiwa. Karena covid-19 menyerang tubuh, maka kita sangat konsentrasi pada antisipasi terhadap tubuh individu yang merasa memiliki kuasa penuh atas dirinya sendiri, akan protes bila tubuhnya dikuasai pihak lain. Itulah yang terjadi di beberapa wilayah di Amerika Serikat, ketika warga mereka menolak untuk di isyaratkan tetap berada di rumah selama Pandemi covid-19 berlangsung. Mereka merasa diri mereka dikekang oleh hak mereka atas tubuhnya sendiri. Tetap berada di rumah adalah himbauan dari organisasi kesehatan dunia yaitu WHO. Dengan dukungan formal dari negara negara dunia mendorong kita untuk tetap berada di rumah saja, dengan tujuan adalah memutus mata rantai perkembangan wabah covid-19.


Pada masa pandemi saat ini, semua orang ingin selamat dari ancaman wabah covid-19. Kesadaran ini diekspresikan dengan berbagai macam cara. Ketika keselamatan itu diyakini bisa diperoleh tanpa harus tetap di rumah, isolasi diri secara mandiri jaga jarak dan lain lain maka protes terhadap isolasi diri adalah sebuah ekspresi terhadap kebebasan individualitas. Suatu upaya untuk merebut kembali hak kepemilikan atas tubuh sendiri. Wabah covid-19 mengembalikan apa yang menjadi manusiawi, misalnya marilah kita semua tidak saling berjabat tangan dan menjaga jarak, tidak bersalaman sebagai sapaan, perkenalan, kehangatan relasi antar manusia adalah sebuah produk kesepakatan antara beberapa pihak sebelum krisis covid -19 menyerang. Ketika pandemi ini melanda, maka sapaan dan perkenalan serta kehangatan itu di definisikan ulang, tidak bersalaman adalah sebuah kehangatan.


Kita jadi tau bahwa salaman dianggap sebagai simbol kerekatan hubungan antar manusia adalah apa yang kita definisikan sebagai ‘kehidupan normal’ sebelum pandemi melanda. Kondisi tubuh tidak hanya dipraktikkan oleh organisasi atau orang-orang yang punya kekuasaan untuk megatur. Tetapi juga oleh diri kita sendiri. Kita merawat tubuh supaya lebih higienis. Hand sanitizer di depan rumah. Cuci tangan pakai sabun jadi ritual. Bagaimana tidak, karena tubuh kita tidak ada gantinya. Setiap orang hanya punya satu, maka mereka sebisa mungkin untuk menjaga diri mereka. Sebagian wajah kita di tutupi dengan masker, tubuh kita di isolasi di rumah, tangan kita dicegah untuk tidak bersentuhan. Jika kita memasuki daerah terutama dengan intensitas virus yang tinggi maka kita akan menerapkan protokol covid seperti di semprot disinfektan dll. Tubuh kita berada dalam pengawasan yang ketat kondisi ini mengingatkan kita agar memikirkan ulang tentang apa yang di perlakukan terhadap tubuh kita. Sebagian dari orang mungkin memiliki kesadaran dalam hal ini yaitu kesehatan, bagaimana dengan mereka yang terlanjur terinfeksi covid-19 ? padahal bukan atas keinginan mereka. Tetapi ketika tidak dapat mengelak dengan hasilnya, jika di bayangkan bila covid -19 menyerang tubuh dan menguasai paru-paru. Kondisi yang memaksa kita untuk lebih serius memperhatikan keselamatan dan juga kesehatan kita terlebih terhadap lingkungan bersama, terkait dengan istilah berkurung dan berkurung di rumah yang seolah olah menjadi tradisi, berkurung yang artinya dikurung secara adat dimana kita harus mengurus diri agar tidak sampai penyakit menjadi menyebar ke orang lain. Kemudian berkurung adalah dikurung secara aturan pemerintah, agama hingga negeri dapat melalui musim wabah tersebut dengan tuntas. Masker tidak hanya menjadi implikasi dalam antisipasi terhadap pandemi, tetapi juga menunjukan bagaimana wajah seorang ditampilkan di ruang publik saat pandemi ataupun saat tidak pandemi, lalu siapakah yang memiliki otoritas dalam mengatur bagaimana wajah kita ditampilkan ditempat umum.


Untuk mengurangi penyebarluasan wabah, pemerintah menghimbau masyarakat menggunakan masker ketika di luar rumah. Negara Indonesia merujuk kepada organisasi dunia yaitu WHO, yang memiliki legitimasi politik lebih tinggi untuk mengatur bagaimana warga dunia menghadapi resiko Covid-19 yang sedang melanda. Kita mungkin memakai masker di sebabkan karena dua hal pertama karena himbauan dari pemerintah atau karena diri kita sendiri karena menginginkan suatu tujuan, atas pertimbangan Kesehatan dan keselamatan. Masker yang kita gunakan dilandasi oleh kepentingan kita tetap sehat, Kesehatan menjadi dasar bagaimana kita menampilkan diri di ruang publik. Yang kita hadapi ini adalah virus yang sama sekali baru dan belum ditemukan obatrnya. Tingkat penyebaran sangat cepat. Secara ideal kebijakan adalah berkurung dan bekukung. Jika tidak mampu hanya ada alternatif keluar dari kurungan. Jika alternatif ini diambil, dengan kebijakan New Normal atau apapun, maka resikonya cepat atau lambat akan terpapar juga.


Sama halnya dengan kebiasaaan yang terbentuk sebelum dan sesudah covid seperti tradisi offline atau tatap muka semua dilakukan dengan tatap muka dan langsung, berbeda dengan setelah munculnya covid 19 maka semua tradisi diawal akan hilang dan berganti dengan daring online. Seolah olah semua tradisi awal hilang ditelan covid dan berganti dengan tradisi baru yaitu daring yang di sebabkan kaerena tuntutan dari pemerintah bahkan masyarakat yang sangat objektif terhadap perkembangan wabah covid-19 sama halnya dengan mask sosial semua terbentuk akibat pola di tengah masyarakat yang menyebabkan perilaku sosial yang awalnya hanya menjadi sebuah definisi sosial. Namun, akibat kebiasaan yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan sebuah perilaku sosial.


Kita semua menyaksikan munculnya mask sosial yaitu orang orang menggunakan masker ketika sedang beraktivitas di luar ruangan. Masker tidak hanya sebagai hiasan di wajah, tapi juga memiliki fungsi sebagai pencegat droplate virus, yamg di jual dalam display di pinggiran jalan, di toko dan lain lain walaupun keberadaannya sempat langka, namun saat ini telah di produksi secara masal dan masif.


Menurut Max Weber, perilaku mempengaruhi aksi sosial dalam masyarakat yang kemudian menimbulkan masalah masalah. Pertama tindakan rasionalitas instrumental yaitu tindakan yang di tentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk di capai dan membutuhkan nilai dari tujuan itu sendiri bila individu tersebut bertindak rasional maka tindakannya pun dapat di pahami. Kedua, rasionalitas yang berorientasi nilai, yaitu tindakan yang didasarkan oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai nilai lainya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya, tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan yang pertama, sehingga tindakannya masih bisa di pahami. Ketiga tindakan afektif (affectual), yaitu tindakan yang oleh kondisi kejiwaan dan perasaan individu yang melakukannya. Tindakan ini dilakukan berdasarkan perasaan yang di milikinya, biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Keempat tindakan tradisional, yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun temurun. Dari keempat jenis tindakan, maka tindakan yang lebih cenderung atas fenomena ini adalah tindakan rasionalitas yang berorientasi nilai karena di dasarkan oleh nilai kemanusiaan yang memang harus di utamakan dalam menggunakan masker dengan tujuan keselamatan bersama. Weber menyadari permasalahan-permasalahan dalam masyarakat sebagai sebuah penafsiran. Tindakan sosial adalah suatu pemaknaan tindakan individu di tengah masyarakat yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan di arahkan terhadap tindakan orang lain. (weber dalam Ritzer 1975) . Sama halnya dengan masker, ada beberapa tujuan yang akan tercipta apabila menggunakan masker seperti dalam aspek penampilan atau praktik hukum agar aman dari vonis petugas gugus tugas. Namun disisi lain penggunaan masker adalah sebuah tindakan yang didasarkan kepada alasan kesehatan dan juga alasan keselamatan bersama yang mengindikasikan ada rasa yang mendorong orang untuk menggunakan masker bukan hanya karena kebijakan pemerintah semata. Dalam hal ini pemerintah juga dapat mengeksternalisasi kepada masyarakat bahwasanya objetifikasi mengenai covid yang dipandang sangat berbahaya terhadap keberlangsungan hidup manusia, dan yang telah dipaparkan oleh pihak terkait seperti tenaga medis dan lain sebagainya, maka harus dapat memberdayakan masyarakat untuk menginternalisasi penggunaan masker terhadap dirinya pribadi sebagai sebuah konstruk di tengah masyarakat bahwa masker ini sangat penting dalam menunjang keberlangsungan hidup umat manusia.


 

Oleh : Bidang Intelektual Rayon Aksatriya Kahuripan 2021/2022


51 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


“Aku akan terus menulis dan akan terus menulis, sampai aku tak mampu lagi menulis”
(H.Mahbub Djunaidi)

© 2021 by LSO Informasi,komunikasi, dan pers PMII AKSATRIYA KAHURIPAN

bottom of page