SENI MEMAHAMI KONFLIK
- aksatriyakahuripan
- Nov 14, 2022
- 8 min read

Perkembangan manusia tidak terlepas dengan berbagai dinamika yang menyelimuti kehidupan sosialnya. Dinamika yang beragam dan dampak yang signifikan menstimulasi munculnya paradigma sosial baru untuk membaca perubahan sosial yang ada di masyarakat. Paradigma tersebut berfokus kepada konflik sosial, sehingga dinamakan paradigma konflik. Sejalan dengan tradisi dari kalangan Marxian, konsep pemaknaan atas konflik sudah ditumbuhkan sejak merabahnya tradisi dialektika dalam filsafat, perkembangan tersebut sampai menjadikan paradigma konflik sebagai ‘proses sosial’ dalam upaya melakukan perubahan sosial. Pemaknaan atas konflik tersebut, membuka ruang bagi perkembangan ilmu sosial untuk memahami berbagai macam pola konflik yang ada di sekitar kita.
Pada hakikatnya, teori tentang konflik muncul sebagai bentuk reaksi terhadap tumbuhnya teori fungsionalisme struktural yang dianggap tidak memperhatikan fenomena konflik sebagai salah satu gejala masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Secara bahasa, konflik diambil dari bahasa latin configere yang memiliki arti saling memukul. Secara umum, konflik adalah perbuatan salah satu pihak yang mengakibatkan terhalang, menghambat atau mengganggu pihak lain yang terjadi antara kelompok masyarakat atau dalam hubungan interpersonal. Pemahaman tentang konflik tentu tidak sederhana seperti paparan tersebut. Konflik dapat dipahami secara utuh dengan melihat tradisi para pemikir sosial di setiap zamannya.
Berbagai macam pemahaman tentang konflik selalu berbeda disetiap tokoh pemikir sosial. Hal tersebut terjadi karena ada perubahan zaman yang terus berkembang, sehingga fenomena sosial selalu bersifat dinamis menyesuaikan dengan zamannya. Zaman tersebut telah diklasifikasikan oleh kalangan sosiolog melalui tiga periode yaitu Klasik, Modern, dan Pasca Modern. Ketiga periode tersebut menjadi gambaran dari bangunan peralihan pemikiran dari periode klasik menuju pasca modern. Sehingga dari peralihan tersebut pemahaman tentang konflik akan sangat beragam dengan menyesuaikan konteks pada masanya.
Periode Klasik
Perkembangan awal dimulai pada abad 19 yang dipelopori oleh tokoh revolusioner Karl Marx. Pemikiran Marx menjadi gerbang awal pemahaman konflik sosial. Pemikiran tentang konflik tersebut dapat diketahui dari teorinya yang bertajuk materialisme dialektika-historis. Menurutnya, konflik adalah realitas sosial yang kita temukan di mana-mana. Namun, munculnya konflik tersebut disebabkan oleh cara produksi barang-barang material yang melibatkan dua kelompok, yaitu kaum kapitalis dan kaum proletar. Pola produksi tersebut adalah manifestasi sistem kapitalisme yang mendegradasikan para kaum buruh, sehingga dampaknya produksi barang-barang material menyebabkan alienasi dan konflik sosial. Oleh karenya, konflik sosial dalam perspektif Marx dapat dipahami melalui dampak sistem kapitalisme yang menciptakan kelas sosial yang tidak setara antara borjuis dengan proletar, sehingga Marx menamakan konflik tersebut sebagai konflik pertentangan kelas.
Namun, pandangan Marx tersebut dikritik oleh tokoh pemikir lain, seperti Max Webber dan George Simmel. Menurut Webber, Materialisme historisnya Marx hanya menekankan perhatian pada satu sisi kelas. Bagi Webber, diperlukan keseimbangan sekaligus menekankan peran faktor-faktor pemikiran yang menyebabkan perubahan sejarah. Berbeda dengan Marx, Webber lebih mengamini adanya kapitalisme, menurutnya kehidupan sosial sampai batas tertentu merupakan kontradiksi dalam memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh individu. Weber melihat adanya pertentangan sampai batas tertentu sebagai tujuan konflik untuk keuntungan ekonomi. Dari sini kita dapat melihat bahwa Weber bukanlah seorang materialis ataupun idealis. Ia adalah seorang sosilog klasik yang mampu menggabungkan konsep material dan ideal melalui pendekatan sosiologis secara keseluruhan.
Tokoh kedua yang mengkritisi pemikiran Marx adalah George Simmel. Dalam pemahaman Simmel, konflik bukanlah dari alat produksi maupun perbedaan kelas sosial. Namun, konflik sebenarnya merupakan bentuk dasar interaksi antara individu dan kelompok, sehingga memungkinkan interaksi tersebut terus berlanjut. Bagi Simmel, yang mengancam pecahnya sebuah komunitas bukanlah konflik, melainkan ketiadaan interaksi antara individu dan kelompok.
Periode Modern
Perkembangan teori konflik di era modern ini lebih kompleks dan dinamis dalam merespon munculnya konflik. Pada perkembangannya, konflik tidak melulu bersifat negatif, tetapi di sistem yang lain konflik bersifat positif. Terlebih konflik di dalam suatu sistem tersebut acapkali dibutuhkan untuk mempererat hubungan sosial antar individu dan kelompok.
Menurut Lewis A. Coser, konflik tidak selalu negatif karena sistem sosial lebih fungsional. Konflik juga dapat mempererat hubungan antar individu dalam suatu kelompok. Lebih lanjut, Coser percaya bahwa konflik tidak harus disfungsional. Karena itu, konflik dapat menimbulkan interaksi dan mendorong konsekuensi positif. Selain itu, konflik juga dapat menggerakkan anggota kelompok yang terisolasi untuk menjadi aktif dalam kegiatan kelompok. Pandangan tersebut sangatlah cocok untuk membangun iklim di dalam organisasi untuk lebih berkembang. Coser membagi konflik menjadi dua. Pertama, konflik yang realistis. konflik ini merupakan bagian dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang muncul dalam hubungan dan manfaat yang dirasakan dari para peserta. Kedua, konflik yang tidak realistis. Konflik ini tidak berasal dari pesaing antagonis, melainkan upaya untuk meredakan ketegangan diantara beberapa pihak.
Lebih menarik lagi perspektifnya McClelland, menurutnya konflik harus dipahami sebagai suatu yang dapat menodorong manusia menciptakan motivasi. Dalam teorinya tentang motivasi, ada tiga tingkatan kebutuhan seorang akan motivasi, diantaranya; need for achievement (kebutuhan prestasi), need for afilliation (kebutuhan afiliasi), need for power (kebutuhan kekuasaan). Karenya, adanya konflik harus dipahami sebagai suatu dorongan manusia untuk merubah kearah yang lebih baik. Untuk mendorong adanya perubahan harus ditumbuhkan sikap kompetitif antar satu sama lain, sehingga dari motivasi tersebut tujuan seseorang akan dapat dicapai dengan baik.
Namun ternyata konflik juga erat kaitannya dengan otoritas. Ralf Dahrendorf muncul dengan gagasannya yang bertajuk ‘konflik otoritas’, bahwa konflik hanya terjadi melalui hubungan sosial dalam suatu kelompok atas otoritas. Oleh karena itu, konflik antar individu atau kelompok yang tidak terkait dalam sistem tidak akan mungkin terjadi. Hubungan ini erat kaitannya dengan otoritas. Dengan otoritas, beberapa pihak memiliki kontrol dan sanksi yang memungkinkan mereka yang berkuasa untuk mengontrol dan mengambil keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa. Otoritas menjadi fokus munculnya konflik, seorang yang memiliki otoritas maka dialah yang mempunyai power untuk mengatur sistem.
Dalam teori sistem yang lain, muncul Robert K. Merton dengan gagasannya yang dinamakan sebagai disfungsional. Ia mengutarakan bahwa setiap sistem dalam struktur tidak seutuhnya bersifat fungsional, akan tetapi beberapa struktur yang lain memiliki konsekuensi logis akibat struktur yang tidak bisa terintegrasi, struktur tersebut dinilai disfungsional. Konflik bisa saja muncul ketika suatu sistem di dalam struktur tidak saling terintegrasi satu sama lain. Untuk bisa melihat sejauh mana konflik tersebut tampak di permukaan, Merton memberikan jalan analisis melalui konsep fungsi manifes (direncanakan) dan fungsi laten (tidak direncanakan).
Pada kurun waktu yang sama, aliran interaksionisme simbolik juga merespon munculnya konflik sosial.
Golongan ini di prakarsai oleh George H. Mead dan lebih lanjut dikembangkan oleh muridnya yang bernama Herbert Blummer. Bagi aliran ini, konflik sosial berangkat dari adanya interaksi sosial melalui simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut memiliki makna yang dihasilkan dari negosiasi secara terus menerus oleh mereka yang memiliki kepentingan. Dari proses memaknai suatu simbol tersebut menjadikan dunia sosial itu ada dan mengatur perilaku manusia. Munculnya stigma, persepsi, dan labeling adalah hasil daripada upaya untuk mendefinisikan obyek sosial, dari simbol tersebut dapat memberikan arti atas pemaknaan di dalam interaksi sosial masyarakat. Sehingga tidak memungkiri juga hasil pemaknaan simbol yang berbeda oleh individu akan menciptakan suatu konflik di dalam masyarakat.
Perspektif lain disampaikan oleh Jonathan Turner, dalam catatannya ia memusatkan perhatian pada konflik sebagai suatu prosesi yang mengarah kepada interaksi, namun yang disertai adanya kekerasan antara dua belah pihak. Tingkat kekerasan dalam konflik sangat tergantung pada kapasitas masing-masing pihak yang berkonflik untuk mendefinisikannya kembali. Di mana kepentingan mereka secara objektif mengatur dan mengendalikan konflik yang terjadi.
Di sisi yang lain, C. Wright Mills mengatakan bahwa konflik dalam masyarakat muncul karena perbedaan kepentingan dan sumber daya. Menurut Mills bahwa struktur sosial diciptakan oleh konflik antara orang-orang dengan kepentingan dan sumber daya yang berbeda. Apalagi saat ini, terkadang posisi pemerintah seringkali tidak sejalan dengan masyarakat, sehingga menjadi pemicu utama konflik di masyarakat. Adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah dalam pembangunan nasional seringkali menimbulkan konflik terbuka. Memang konflik sosial ini biasanya muncul karena adanya pihak atau kelompok yang merasa kepentingan atau haknya telah diambil alih oleh pihak tertentu. Secara tidak adil, istilah ini dikenal sebagai nilai lebih dalam pandangan Karl Marx.
Pada abad modern, pemikiran neomarxis juga manghiasi khazanah teori konflik. Tokoh pemikir neomarxis yang terkenal adalah Antonio Gramsci. Dalam pemikirannya memiliki perbedaan pandangan dengan Marx. Perbedaannya terletak pada; Marx melihat konflik sosial berdasarkan aspek ekonomi, sedangkan Gramsci mendasarkan pada aspek budaya dan politik. Bagi Gramsci, sejauh menyangkut konflik, itu disebut hegemoni. Hegemoni adalah kekuasaan yang dijalankan melalui kekerasan untuk membangun ideologi yang diinginkan oleh penguasa.
Masih di aliran yang sama, muncul George Lukacs yang mengadopsi teori Marx tentang fetisisme komoditas untuk menjelaskan konflik tersebut muncul. Ia berangkat dengan gagasan yang dinamakan sebagai reifikasi, yang mana komoditas sebagai masalah struktural penting dalam masyarakat kapitalis, yang berwujud barang dan berkembang menjadi objek yang mendasari hubungan antar manusia. Reifikasi secara sederhana adalah membendakan manusia. lebih lanjut, reifikasi seperti yang dikatakan Marx adalah tereduksinya hubungan manusia karena mereka menjadi hubungan alat-alat produksi.
Periode Pasca Modern
Dalam periode pasca modern teori konflik tidak lagi mewujud dalam satu paradigma positivis, tetapi konflik berkembang secara dramatis menuju keseharian masyarakat secara keseluruhan. Konflik dalam pandangan pasca modern dipahami sebagai suatu kekerasan yang bersifat halus, senyap, dan mengena bagi setiap lini masyarakat. Sehingga membutuhkan cara pandang kritis di dalam membaca adanya konflik yang ada di sekitar kita.
Aliran pertama yang membaca secara kritis tentang konflik adalah aliran Mahdzab Frankfurt. Aliran ini berusaha merekonstruksi pemikiran marxisme yang dirasa gagal untuk melakukan perubahan sosial. Aliran Frankfurt digawangi oleh beberapa tokoh diantaranya adalah Max Hokheimer, Theodor Adorno, Hertbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Mirip dengan pemikir marxis lainnya, teori kritis menekankan pada konflik kepentingan dalam masyarakat yang dilandasi hubungan kepemilikan modal (ekonomi). Lebih jauh, Mahdzab Frankfurt mengembangkan teori kritisnnya melalui upaya melihat konflik yang diakibatkan oleh adanya ideologi (kapitalisme lanjut), sehingga tema besar dalam upaya mengembangkan teori kritis diarahkan pada ruang kritik atas ideologi.
Munculnya era modern juga di respon oleh aliran post-modern dengan membawa kritik atas modernitas. Aliran ini digawangi oleh beberapa tokoh populer yaitu Jean Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Zigmunt Bauman, dan Federic Jameson. Aliran ini meyakini bahwa konflik adalah suatu ketimpangan akibat adanya era modern, di mana modernitas yang tampil di publik ternyata justru menciptakan dehumanisasi. Konsumersime, hilangnya interaksi sosial, dan ketidakpastian hidup adalah dampak daripada perkembangan modernitas yang semakin cepat. Oleh karena itu, aliran ini berusaha membongkar kebusukan dan membangun kembali harapan kemanusiaan yang kian hilang.
Aliran lain yang mengkritis era modern adalah aliran post-strukturalisme. Aliran ini memiliki beberapa tokoh terkenal yang diantaranya adalah Michel Foucault, Jaques Derrida, dan Pierre Bourdieu. Munculnya aliran ini berangkat atas strukturalisme yang cenderung positivis (aliran modern). Adapun yang dikritik terhadap strukturalisme adalah basis bahasa, yang mana setiap orang mengatahui cara menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli aturan-aturan yang berkenaan dengan tata bahasa. Oleh karena itu, aliran post-strukturalisme menolak akan penggunaan bahasa yang terlalu universal. Menurut Derrida, bahasa sebenarnya tidak teratur dan tidak stabil. Derrida meremehkan peran bahasa yang menurutnya hanya “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, ia juga melihat bahwa pranata sosial tidak lain adalah tulisan, karena tidak mampu memaksa orang. Sehingga konteks yang berbeda memberikan kata-kata dengan arti yang berbeda.
Berbeda dengan Derrida, Michel Foucault melihat bahasa erat kaitannya dengan pengetahuan dan kekuasaan. Bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling terkait, maka seseorang yang memiliki pengetahuan maka dia akan berkuasa. Selain itu, Bourdieu lebih eksotis melihat ketika melihat bahasa. Menurutnya bahasa tidak bersifat dominan, ia tidak bisa dipaksakan dengan budaya bahasa yang lain, sehingga bourdieu tiba pada konsep kekerasan simbolik, di mana kekerasan tersebut diakibatkan oleh adanya bahasa yang bersifat memaksa.
Dari pemaparan pembahasan mengenai konflik diatas, dapat diketahui bahwa pemahaman tentang adanya konflik sangat beragam, tergantung cara pandang yang digunakan, dan cukup njlimet. Namun dapat disimpulkan, bahwa penjelasan mengenai konflik harus dipahami melalui cara pandang yang unik, cara pandang yang tidak biasa, sehingga untuk membaca konflik kita tidak hanya dalam satu sisi saja namun perlu dibaca sisi-sisi lain. Membaca konflik jangan hanya dipahami sebagai suatu hal yang buruk, bisa jadi konflik tersebut menjadi baik untuk kita. Hemat penulis, konflik dapat kita pahami sebagai suatu hal yang dibutuhkan, diharapkan, disukai, dan di elu-elukan, karena dari adanya konflik itu justru dapat memberitahu kita tentang kelemahan, kekuatan, peluangm dan ancaman. Sehingga cukup bodoh seorang untuk untuk mengakui dirinya anti konflik, sebab berkat konflik diri kita mampu untuk tumbuh secara dewasa dilingkungan sosial kita. Inilah yang dinamakan seni memahami konflik, yaitu suatu proses untuk memahami konflik melalui cara pandang yang berbeda dan diperkuat menggunakan teori sosial.
Oleh: Alif Hasugian, S.Sos
Demisioner Bidang Kaderisasi Rayon Aksatriya Kahuripan

Comments