Dokumentasi aksi tolak RUU Polri, TNI, PERS, dan TAPERA pada saat acara berlangsung
Tepat di hari Rabu, 19 Juni 2024 di Pemkab Kediri terjadi aksi dari sebagian mahasiswa kediri yang menyuarakan pendapat para rakyat atas kebijakan tentang RUU Polri, TNI, dan Pers mereka menolak akan kebijakan itu, mereka menganggap bahwa kebijakan tersebut masyarakat Indonesia menjadi tidak bebas dan kembali ke sistem orde baru yang dipimpim oleh Presiden Soeharto kala itu. Aksi ini dimulai dari pukul 14.00 WIB di depan kantor Pemkab Kediri.
Dari kerusuhan yang terjadi kami telah mewawancarai sebagian dari mahasiswa atas tanggapan mereka dengan peristiwa aksi tersebut, yaitu sahabat Ahmad Amrullah Kaamil, selaku ketua koordinator divisi kaderisasi Rayon aksatriya Kahuripan “ Menurut saya lagi-lagi pemerintah atau pemangku kebijakan kurang bisa menempatkan dirinya sebagai perwakilan dari rakyat. Tindakan yang diambil tidak memiliki landasan keberpihakan terhadap apa yang dikeluhkan oleh rakyat. Sepengamatan saya sendiri pada peristiwa tersebut polisi menjadi yang lebih disalahkan karena mereka juga dipaksa untuk tunduk atas perintah yang memiliki kesewenangan dalam memberikan mandat tugas kepolisian, sehingga yang terjadi disitu kesalah pahaman antara tuntutan dari mahasiswa terhadap DPRD Kabupaten Kediri yang mengakibatkan petugas kepolisian yang bertugas ikut terseret. Seperti halnya tadi ketika teman kita melontarkan pertanyaan pada kepolisan, apakah mereka menjawab? Tentu tidak. Dan sekali lagi yang disalahkan adalah yang mengamini putusan Ruu untuk diterbitkan, jadi saya rasa pihak kepolisian pada saat itu hanya menjadi bahan candaan mahasiswa saja. Mereka mau ngapain? Mau menjawab argumen? Mereka mempunyai sumpah dalam menjalankan tugas, sekali lagi pelebaran fokus tuntuntan ini yang seharusnya kita tunjukan pada DPRD Kabupaten Kediri ini kurang tepat. Perlu dicatat dalam aksi ini masih marak kita temui argumen yang tidak didasarkan pada permasalahan secara kelembagaan namun individu. Ketika kita kulik lebih dalam lagi adanya peristiwa tersebut juga merupakan sesuatu yang berasal dari apa yang Bapak Dodi sampaikan”. Dari sini dapat kita lihat bahwasannya orang yang memangku kebijakan kurang bisa menempatkan diri mereka dengan baik, dari pihak kepolisian pun memilih bungkam pada saat salah satu dari mahasiswa melontarkan sebuah pertanyaan kepada mereka.
Pada saat demonstrasi berlangsung para aktivis memberikan beberapa tuntutan antara lain : pertama Menuntun pemerintah daerah kabupaten kediri untuk menyampaikan kepada pemerintah pusat bahwa masyarakat kabupaten kediri menolak adanya pengesahan RUU TNI, Polri yang disinyalir dapat menghambat demokrasi di Indonesia, kedua adalah tuntutan atas TAPERA yang pada mulanya ditujukan agar memudahkan justru malah menyengsarakan rakyat. Dari permasalahan tersebut kemudian ada beberapa aktivis juga yang memberikan penjelasan hampir sama, Sahabat M. Ivan Surya Akbar selaku WAKA 1 Rayon Aksatriya Kahuripan menuturkan “demo tadi sore itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga dari para aktivis saja, karena dari pihak DPRD Kab. Kediri yang diharapkan menyetujui gugatan kita seperti yang dulunya, ternyata malah berbalik ataupun memberikan respon yang berbeda dari biasanya. Pak Dodi malah menunjukkan sikap yang kurang pantas dihadapan publik dan membuat para aktivis tidak puas dengan sikap marahnya terhadap aktivis yang dimana dikatakan bahwa para aktivis itu merusak marwah partainya Pak Dodi. Terus sebenarnya mereka itu dewan perwakilan rakyat atau dewan perwakilan partai? Atau bahkan dewan penindas rakyat?”. Dari sini dapat kita lihat bahwasannya tuntutan yang kita ajukan kepada pemerintah setempat ditolak dan ‘ngamuk’ karena marwah partainya dirusak oleh para aktivis tersebut.
Jika tuntutan-tuntutan yang diajukan tidak diterima lantas bagaimana nasib masyarakat Indonesia kedepan?. Karena jika kebijakan tersebut direalisasikan maka dapat mengakibatkan kesengsaraan yang dialami para penduduk Indonesia, selain itu juga demokrasi di Indonesia akan diberi batasan tersendiri, jika demokrasi di beri batasan maka sama halnya pemerintah membatasi kita untuk mengekspresikan diri kita ataupun menyuarakan pendapat kita di ruang publik. Ruang publik adalah tempat untuk mengekpresikan diri kita, tempat dimana kita bisa bertukar pendapat, ide-ide kita jika pengekspresian dalam ruang publik terhambat, maka kemampuan kita untuk melakukan kreativitas, inovasi dan pertukaran pikiran akan terhambat juga. Pembatasan tersebut juga dapat mengakibatkan masyarakat Indonesia takut untuk berpatisipasi dengan penduduk dalam kegiatan sosial maupun politik. Mereka akan merasakan ketakutan berbicara di depan umum karena ada batasan yang mana hal tersebut bisa menjadi peluang mereka berkembang dan berkontribusi pada masyarakat.
Pewarta :
Myrendita Aulia Wilhelmina
(Koordinator Divisi Keputrian Rayon Aksatriya Kahuripan
Periode 2023-2024)
Comments