top of page
PicsArt_09-24-08.55.58.png

AKSATRIYA
KAHURIPAN

  • Instagram
  • pngegg

Laki-Laki Dalam Lingkaran Toxic Masculinity

  • Writer: aksatriyakahuripan
    aksatriyakahuripan
  • Oct 30, 2021
  • 3 min read

Source : https://pin.it/1WcGB7H

Bagi sebagian orang memahami gender adalah upaya untuk memahami perempuan dan menjadikan perempuan setara secara hak dengan laki-laki. Well, stigma bahwa gender hanya dikhususkan oleh perempuan adalah sebuah sudut pandang yang keliru mengenai gender dan sudah saatnya untuk diluruskan. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang yang akhirnya salah paham memahami gender dan masih tidak bisa membedakan definisi dari gender itu sendiri. Hingga pada akhirnya masyarakat cenderung memahami gender sebagai sebuah upaya untuk menyetarakan kaum perempuan agar setara dengan kaum laki laki.


Anggapan tersebut sebenarnya juga tidak salah. Namun di satu sisi juga tidak sepenuhnya benar. Memang studi gender itu terutama di Indonesia mayoritas cenderung membahas tentang bagaimana upaya perempuan agar bisa setara dengan laki-laki. Hal ini dilatarbelakangi oleh mayoritas budaya Indonesia yang cenderung dominan ke budaya patriarki. Selain itu minimnya kajian studi gender yang menjadikan kaum laki-laki sebagai subjek penelitian dan publikasi studi gender dengan laki-laki sebagai subjek penelitian menjadi sebuah kesimpulan subjektif bahwa pembahasan tentang gender hanya dikhususkan kepada perempuan saja.


Jika kita membuka mata lebar-lebar dan melihat realita yang ada. Sebenarnya pemahaman tentang gender tidak hanya dikhususkan kepada perempuan saja. Kaum laki-laki juga harus sadar dan mawas gender. Sehingga akan meminimalisir terjadinya diskriminasi gender. Namun hingga detik ini hanya kaum perempuan saja yang mengerti tentang gender dan diskrimninasi gender.


Padahal kaum laki-laki juga rentan terkena diskriminasi gender dan menjadi korban dari diskriminasi gender itu sendiri. Tetapi banyak sekali kaum laki-laki yang tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban dari diskriminasi gender tersebut. Salah satunya adalah minimnya pemahaman dan pengetahuan terkait gender itu sendiri.


Bentuk diskriminasi gender yang dialami laki-laki salah satunya adalah stereotip maskulinitas yang disebut dengan toxic masculinity. Sebuah anggapan dimana laki-laki diidentikkan sebagai makhluk yang kuat, dominan, dan sulit mengekspresikan emosi. Hal ini disebabkan karena adanya sekat yang terjadi akibat adanya batasan-batasan sosial antara sifat feminim dan maskulin yang terbentuk berdasarkan pada konstruk sosial yang terjadi di masyarakat. Sehingga ketika laki-laki keluar dari batasan tersebut maka dianggap tidak sempurna ke-laki-lakian-nya.


Toxic masculinity ini tanpa kita sadari sering terjadi disekitar kita. Misalnya adanya anggapan bahwa laki-laki yang menangis adalah laki-laki yang lemah.


Lanang kok nangis, ngisin-ngisini”


Pasti sebagian besar dari kamu pernah mengalami hal ini bukan. Padahal bukan sebuah hal yang hina bagi laki-laki untuk menangis. Tangis dan airmata itu adalah kodrat bagi seluruh manusia. Terlepas dari jenis kelaminnya, Air mata menjadi milik siapapun dan siapapun bebas mengeluarkan air matanya. Tuhan menciptakan air mata bukan untuk dipakai oleh kaum perempuan saja. Laki-laki boleh memakai air matanya, Laki-laki juga boleh menangis.


Selain dibatasi dalam mengeluarkan air mata. Ada juga stereotip yang berkembang di masyarakat dewasa ini. Yakni anggapan bahwa laki-laki itu tidak seharusnya memakai segala bentuk perawatan diri atau skincare. Lagi-lagi anggapan ini ada karena skincare itu berada pada ranah feminim. Sehingga otomatis hanya perempuan yang boleh memakai skincare. Padahal merawat diri itu merupakan sebuah kewajiban terlepas dari jenis kelamin seseorang.

Memakai skincare bagi laki-laki bukanlah sebuah upaya meniru apa yang juga dilakukan oleh para perempuan. Skincare adalah upaya laki-laki untuk merawat diri dan laki-laki juga sama seperti perempuan. Sama-sama memiliki hak untuk merawat dirinya. Selain skincare ada anggapan bahwa warna pink itu identik sebagai warna perempuan dan kaum laki-laki yang memakai atribut berwarna pink akan di cap sebagai laki-laki yang kemayu.


Kemudian adanya anggapan lain bahwa laki-laki yang tidak merokok adalah laki-laki culun dan dilabeli sebagai “anak mama”. Sejak kapan rokok menjadi penentu culun atau tidaknya laki-laki? Merokok atau tidak itu adalah sebuah pilihan. Toh juga setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk tidak merokok. Entah karena eman-eman dan tidak punya uang untuk merokok ataupun tidak merokok karena alasan kesehatan. Yang pasti setiap orang berhak dan bebas untuk menentukan pilihan menjadi perokok atau tidak. Tentunya dibarengi juga dengan kesadaran untuk menghormati orang-orang yang tidak merokok.


Sudah saatnya anggapan-anggapan tradisional yang kolot yang memberi sekat antara maskulinitas dan feminitas dihilangkan dalam masyarakat. Laki-laki juga memiliki hak sama seperti perempuan untuk menyalurkan emosi dan merawat diri. Laki-laki juga ingin merasakan nikmatnya menangis dipojokan kamar. Dengan kondisi lampu dimatikan dan sayup-sayup terdengar lagu banyu langit milik almarhum Didi Kempot yang bersaut-sautan bergantian dengan banyu moto yang keluar serta suara isak tangis yang mengiringinya. Memakai pakaian yang disukainya tanpa dibatasi warna pakaiannya. Bebas memutuskan untuk merokok atau tidak tanpa di cap sebagai anak mama. Atau sekedar merasakan rasanya naik motor mengelilingi kota sambil menebar air mata disetiap sudut jalan protokol. Tanpa di cap sebagai laki-laki lemah hanya karena keluar dari lingkaran maskulinitas.

Oleh : Rizal Nur Cahyo Saputro

Anggota LSO Infokom dan Pers Rayon Aksatriya Kahuripan



 
 
 

Comments


“Aku akan terus menulis dan akan terus menulis, sampai aku tak mampu lagi menulis”
(H.Mahbub Djunaidi)

© 2021 by LSO Informasi,komunikasi, dan pers PMII AKSATRIYA KAHURIPAN

bottom of page