Oleh : Rizal Nur Cahyo Saputro
![](https://static.wixstatic.com/media/994266_8cd4b980f5db444dab93edb71c259c3d~mv2.jpeg/v1/fill/w_980,h_887,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/994266_8cd4b980f5db444dab93edb71c259c3d~mv2.jpeg)
Senja ini kuhabiskan dengan duduk santai disebuah kursi dipinggiran jalan protokol. Tidak lupa sebungkus rokok kretek 5000-an dan segelas kopi yang tinggal setengah. Entah sudah setengah kosong atau masih setengah isi. Aku tidak tau harus menyebutnya apa. Lalu lintas agak lengang sore ini. Sesekali kadang satu atau dua kendaraan lalu lalang didepanku. Kebanyakan motor yang dinaiki oleh satu orang. Tapi juga kadang ada yang berboncengan. Sepasang muda mudi yang sedang dimabuk asmara. Menaiki sepeda motor dengan kecepatan sedang melewatiku. Seorang perempuan dibonceng, tangannya mendekap pinggang seorang lelaki. Senyum lebar terpancar di bibir mereka. Dari sorot mata mereka bisa kupastikan mereka pasti tidak ingin agar senja segera berakhir. Sialan!
Kondisiku benar-benar kacau sore itu. Dengan rambut yang awut awutan karena jarang dirapikan. Kantung mata yang hampir sama hitamnya dengan bola mata. Pernah pada suatu hari aku dituduh memakai Eye Shadow gara-gara kantung mataku ini. Sudah beberapa hari ini aku seakan-akan menolak untuk menata ulang hidupku yang mulai tidak tertata. Seakan akan tidak punya tujuan hidup. Padahal justru tidak tertatanya hidupku tak lain adalah untuk satu tujuan. Aku ingin terbebas dari patah hati!
Burung merpati berterbangangan disekitarku. Di daerah sekitaran jalan tempatku ngopi memang banyak sekali burung-burung merpati. Tak ayal orang-orang disekitar jalan itu menyebut jalan protokol itu dengan sebutan jalan merpati. Melihat sepasang merpati yang beterbangan kesana kemari. Teringat sekali lagi dengan sebuah kisah permainan hati yang berakhir patah hati. Sebuah kisah yang menjadikan aku sebagai satu satunya tokoh utama yang memiliki akhir yang tidak bahagia.
Semenjak saat itu kulihat cinta hanya sebatas tipu daya. Banyak orang menyatakan cinta hanya untuk memberi lara. Pengorbanan hanyalah kedok, Sikap tulus Cuma akal bulus. Terkadang aku merasa kasihan terhadap mereka yang sedang dimabuk asmara. Pada akhirnya yang dipanggil sayang akan menjadi kesayangan orang lain dan akan membawa segala hal yang baik buat kesayangannya. Meninggalkan kenangan buruk yang hanya membebani tanpa pernah bisa dibuat pergi.
Masih di jalan merpati. Diantara sekian banyak burung-burung berterbangan. Kulihat seekor burung merpati yang sedang mendekur. Kalau berdasarkan dengan apa yang aku pelajari saat SD. Ia sedang mencari pasangan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah asik mendekur selama lebih dari lima belas menit. Kulihat ada satu betina yang terbang menuju ke burung merpati itu dan mendarat tepat di depannya.Sejurus kemudian keduanya terbang ke sebuah dahan pohon. Keduanya saling mendekur, Mungkin sedang membicarakan sesuatu. Atau mungkin dalam dunia manusia apa yang mereka lakukan disebut PDKT, siapa yang tau.
Kisah kita agaknya mirip seperti sepasang merpati. Terbang bebas mengepakkan dilangit manapun kita suka. Sebelum cinta membuatnya terkurung didalam kandang. Merebut kebebasannya dan membuatnya terlena dengan tipu daya. Toh meski pada akhirnya kita akan terlepas juga dari kandang yang membatasi. Namun bukannya perasaan bahagia karena bisa kembali bebas, yang ada hanyalah patah hati. Pada akhirnya kita justru menjadi sepasang merpati yang terbang berjauhan. Berusaha melupakan semua kenangan yang semakin hari menjadi beban. Berharap pergi,tak harap kembali.
Matahari sudah berada pada masa penghabisannya. Menorehkan senja yang menyepuh langit bak pandai besi. Pemandangan yang cantik sekali. Apalagi dipadukan dengan gedung-gedung tinggi. Memang kolaborasi seorang hamba dan Tuhannya adalah sebuah karya seni yang absolut.
Dengan langkah gontai aku memasuki kamar kos. Sialan, Sudah seminggu berlalu tapi patah hati ini tak kunjung selesai. Tolonglah Tuhan! Paling tidak datangkan tulang rusuk baru untuk menggantikan rusuk lamaku yang hilang!
Tik...tok.....tik....tok.
Bunyi jam dinding terdengar samar. Bunyi itu adalah salah satu diantara sedikit bunyi yang kudengar dikamar kosku. Selain bunyi detak jantungku sendiri. Keduanya menciptakan sebuah harmoni.
Tik...Tok...Deg...Deg...Tik...deg
Nanar ku adu pandangku dengan tembok, selama lebih dari setengah jam. Warna putihnya selaras dengan apa yang ada dalam isi kepalaku;sama sama kosong. Sesekali timbul pertanyaan-pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepadanya.
Kalau kamu jadi aku, Apa yang akan kamu lakukan?
Tembok itu tidak menjawab. Astaga! Betapa bodohnya aku!. Aku lupa kalau tembok itu benda mati. Pantas saja ia tidak menjawab pertanyaanku sama sekali.
Lantas aku membaringkan tubuhku diatas kasur. Menatap langit-langit, masih dengan tatapan yang sama;tatapan kosong. Aku sering berandai-andai bagaimana jika tuhan menciptakanku sebagai awan. Tidak sebagai manusia. Tentu aku tidak akan semenderita sekarang ini. Dipecundangi oleh patah hati. Aku bisa dengan bebas terbang dilangit, memandangi dunia dari atas. Jika aku mati dan jatuh menjadi hujan, maka kematianku menjadi manfaat bagi seluruh manusia dibumi.
Kulihat notifikasi yang berbunyi di handphoneku.Sebuah artikel tentang kenapa penghuni rumah sakit jiwa kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Disitu tertulis alasannya adalah karena kaum lelaki adalah kaum yang tidak bisa mengekspresikan emosinya. Ironisnya, Perempuan terkadang justru menempatkan dirinya sebagai kaum yang disakiti, oleh laki-laki.
Brakkkkk!!! Suara benda jatuh memecah fokusku. Sebuah pigura jatuh karena tertiup angin karena aku lupa menutup jendela. Sehingga membuat angin masuk dan menjatuhkan figura itu. Aku melangkah menuju jendela, menutupnya dan meraih pigura itu. Mengambilnya dan bermaksud untuk mengembalikannya ke tempatnya semula. Namun, pandanganku tertegun pada foto yang ada dalam pigura itu. Tanpa sadar airmataku meleleh. Aku tau aku ini sedikit menggelikan bagi kalian melihat seorang laki-laki menangis. Tapi percayalah kawan, Kekecewaan itu memang sakit rasanya.
Kutaruh kembali figura itu. Namun kubalik agar sosok itu tidak terlihat lagi, setidaknya sampai aku membuang foto didalamnya. Kujatuhkan diriku diatas kasur, dengan sisa air mata yang masih membasahi pipi. Rasa kantuk kemudian menyerang diriku. Membuatku memejamkan mata. Berharap ketika aku bangun nanti. Segalanya akan segera berakhir. Kalau memang tiada akhir aku berharap agar Tuhan tidak membangunkanku lagi, Selamanya.
Comments